Pemanfaatan Limbah Udang sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Kitosan dengan Penggunaan Bahan Kimia yang Minimal dalam Upaya Optimasi Keefektifan Pengawet Makanan bagi Masyarakat

, by Unknown



A.  JUDUL PROGRAM
Kegiatan penelitian yang akan dilakukan mempunyai maksud yang sekiranya dapat diwakilkan dalam penggambaran umum dari judul yang direncanakan. Adapun judul dari program kegiatan penelitian ini adalah “ Pemanfaatan Limbah Udang sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Kitosan dengan Penggunaan Bahan Kimia yang Minimal dalam Upaya Optimasi Keefektifan Pengawet Makanan bagi Masyarakat ”. Diharapkan dari judul tersebut dapat memberikan gambaran bagi para pembaca sekalian mengenai arah dan pola berpikir dalam kegiatan penelitian  yang akan dilakukan.

B.  LATAR BELAKANG MASALAH
Dewasa ini kegemaran masyarakat akan  seafood  atau olahan makanan hasil laut semakin meningkat. Salah satu hasil laut yang sangat digemari masyarakat pada umumnya adalah udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, namun kulit, kepala, dan ekor udang dibuang sebagai limbah. Limbah udang mencapai 35-50% dari total berat udang, sedangkan limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30-75% (Swastawati, dkk., 2008). Dengan demikian jumlah yang terbuang masih cukup tinggi.
Maka dari itu, kami tim peneliti berinisiatif untuk memanfaatkan limbah kulit udang untuk diproses menjadi bahan yang lebih bermanfaat. Limbah kulit udang mengandung bahan penyusun utama yang terdiri dari protein , kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain. Selama ini limbah udang sudah termanfaatkan di dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak yang nilai ekonomis rendah. Perkembangan ilmu pengetahuan, banyak penelitian mengenai limbah udang juga dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kitin dan kitosan. Pembuatan kitosan dari limbah udang pada umumnya menggunakan bahan NaOH dan HCl dengan konsentrasi tertentu. Kitin dan kitosan menjadi salah satu bahan kimia dan bahan baku industri yang menjadi unggulan khususnya bagi industri farmasi dan kesehatan dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan karena senyawa kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi. Kitin dan kitosan dapat digunakan di berbagai aplikasi industri diantaranya; sebagai bahan tambahan di bidang farmasi, kesehatan dan kosmetik, makanan, pengolah limbah dan air (seperti : penyerap logam berat, minyak dan lemak) dan lain-lain. Salah satu manfaat dari kitosan adalah dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan.
Banyak bahan pengawet pada makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi dan mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan. Tetapi kitosan dapat digunakan sebagai pengawet bahan makanan yang tidak berbahaya untuk dikonsumsi. Dan akhirnya, diharapkan peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai pembuatan kitosan dari limbah udang dengan penggunaan bahan kimia (NaOH dan HCl) yang minimal. Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan baku industri khususnya di bidang pangan, dan juga layak dikonsumsi sebagai pengawet bahan makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh. Penelitian ini diharapkan sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

C.   RUMUSAN MASALAH
Permasalahan utama penelitian ini adalah melakukan penelitian untuk memanfaatkan bahan yang tersedia di alam dengan harga terjangkau yaitu limbah udang, HCl dan NaOH untuk menghasilkan bahan yang bernilai ekonomis lebih tinggi dan mempunyai daya guna yang tinggi menggunakan alternatif proses dengan penggunaan HCl dan NaOH yang minimal untuk menghasilkan kitosan yang dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan.
Perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana kita dapat membuat kitosan dengan memanfaatkan limbah udang dengan penambahan larutan HCl dan NaOH yang minimal dengan memperhatikan beberapa variabel yang berpengaruh terhadap reaksi yang terjadi dengan cara melakukan percobaan di laboratorium yang kemudian kita proses untuk mendapatkan kitosan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pengawet bahan makanan. Dalam hal ini difokuskan terhadap limbah udang yang banyak dihasilkan oleh restoran seafood di daerah Yogyakarta.
            Penelitian dilakukan untuk mengetahui mutu kitosan berdasarkan kualitas standar chitosan dalam dunia perdagangan. Parameter yang digunakan adalah kadar abu, kelarutan, dan viskositas dari hasil pembuatan kitosan, untuk mengetahui apakah sudah memenuhi kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan.

D.  TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengolah limbah kulit udang menjadi kitosan yang bermanfaat sebagai pengganti bahan pengawet makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh dan kesehatan dengan mengetahui mutu kitosan berdasarkan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan. Adapun variabel yang diamati adalah lama pemasakan limbah dalam air, perbandingan antara volume pelarut dengan berat bahan, suhu, waktu proses, dan konsentrasi NaOH.

E.  LUARAN YANG DIHARAPKAN
1.    Paten, jika hasil penelitian yang telah dilakukan merupakan ide orisinil (murni) yang belum pernah dibuat sebelumnya dan sudah dipatenkan.
2.    Artikel/Jurnal, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dipublikasikan baik melalui media cetak, media elektronik, maupun jurnal ilmiah, dan seminar nasional.

F.   KEGUNAAN PROGRAM
Adapun manfaat yang dapat diperoleh setelah program ini terlaksana adalah :
1.  Bagi ilmu pengetahuan dan teknologi, dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan referensi tentang kitosan yang dibuat dari limbah udang.
2.  Bagi pembangunan bangsa, diharapkan kitosan yang dihasilkan dapat memenuhi sebagai kebutuhan industri dalam negeri, khususnya di bidang pangan.
3. Menciptakan sumber daya manusia yang kritis serta perduli akan keselamatan lingkungan dan terpacu untuk menghasilkan berbagai inovasi alam terbarukan

G. TINJAUAN PUSTAKA
G.1.  Kulit Udang
     Udang merupakan anggota filum Arthropoda, sub filum Mandibulata dan tergolong dalam kelas Crustacea. Seluruh tubuh terdiri dari ruas-ruas yang terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat (Widodo, 2005). Gambar 3.1. menunjukkan udang yang merupakan komoditas ekspor non migas yang cukup dihandalkan saat ini.




 Gambar G.1. Udang sebagai Bahan Baku Pembuatan Kitosan
Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia yang berupa kitin dan kitosan. Senyawa ini dapat diolah karena hal ini dimungkinkan karena kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukaran ion dan dapat berfungsi sebagai absorben logam berat dalam air limbah (Manjang, 1995).
Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang ( hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang mengandung protein (25-40%), kalsium karbonat (45-50%), dan kitin(15-20%). Tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya ( Focher et al., 1992).
Menurut Widodo (2005), sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%) (Marganof, 2003). Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang.
G.2. Kitin dan Kitosan
Kitin umumnya tidak berbentuk murni melainkan merupakan suatu kombinasi bersama dengan substansi lain seperti protein, kalsium karbonat, dan pigmen (Bastaman, 1990). Salah satu cara mengidentifikasi adanya kitin adalah melalui tes warna Van Wisselingh. Pada tes ini kalium iodisa akan dapat merubah warna kitin menjadi coklat dan dalam suasana asam dengan penambahan asam sulfat warnanya akan berubah menjadi merah violet (Wolfrom, 1960). Kitin merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) ( Hirano, 1998; Tokura, 1995).
Struktur kitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terkait pada atom karbon yang kedua pada kitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin ( The Merck Indek, 1976).
Kitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10  ( Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak terbentuk (amorphus), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan chitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Kadar kitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield 15-20%. Chitosan mempunyai bentuk mirip selulosa dan bedanya pada gugus rantai C-2. Struktur dari kitin terlihat pada Gambar G.2.1. Senyawa kitin pada umumnya tidak digunakan secara murni tetapi diturunkan menjadi senyawa lain yang luas penggunaannya, misalnya kitosan (Bastaman, 1990). Namun untuk memperoleh kitosan kulit udang harus diolah untuk mendapatkan kitin terlebih dahulu. Kitosan merupakan turunan dari polimer kitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan.



                  Gambar G.2.1.  Struktur  Molekul  Chitin

Kitosan disebut juga dengan β-1,4-2-amino-2-dioksi-D-glokosa merupakan turunan dari kitin melalui proses deasetilasi. Senyawa ini merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat (Widodo, 2005). Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga gugus yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder, sehingga menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).
Kitosan  merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3  dan H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan  tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu kitosan  dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, kitosan  relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan (Muzzarelli, 1986).
Menurut Widodo (2005) perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada kandungan nitrogennya. Bila nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan. Kitosan yang disebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4.


Gambar G.2.2  Struktur  Molekul  Kitosan 

      G.3.  Pengawet Makanan
Dalam pembuatan kitosan  dari limbah udang dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu proses deproteinasi, proses demineralisasi dan proses deasetilasi. Penghilangan protein melalui proses kimia (deproteinasi) dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 5%. Penghilangan kandungan mineral melalui proses kimiawi (demineralisasi) dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 1N, sedangkan deasetilasi dilakukan dengan cara pemanasan dengan menggunakan NaOH 50%.
Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan  memiliki polikation bermuatan positif yang manpu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga baik digunakan sebagai bahan pengawet makanan.
Banyak produk pangan yang menggunakan pengawet sintesis yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi tidak semua bahan pengawet berbahaya. Beberapa zat pengawet yang tidak berbahaya untuk digunakan dalam produk makanan tetapi akan menimbulkan efek negatif, misalnya alergi jika digunakan secara berlebihan antara lain : kalsium benzoat, sulfur dioksida, kalium nitrit, kalsium propionat, natrium metasulfat, dan asam sorbat.                         
1.    Kalsium benzoat.
     Bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil toksin (racun), bakteri spora dan bakteri bukan pembusuk. Asam benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, minuman anggur, saus sari buah, sirup, dan ikan asin. Bahan ini bisa menyebabkan dampak negatif pada penderita asma dan bagi orang yang peka terhadap aspirin. Kalsium benzoat bisa memicu terjadinya serangan asma. 
2.  Sulfur dioksida (SO2)
     Bahan pengawet ini juga banyak ditambahkan pada sari buah, buah kering, kacang kering, sirup dan acar. Meski bermanfaat, penambahan bahan pengawet tersebut berisiko menyebabkan luka pada lambung, mempercepat serangan asma, mutasi genetik, kanker, dan alergi.

3.  Kalium nitrit
     Kalium nitrit berwarna putih atau kuning dan kelarutannya tinggi dalam air.                                 Bahan ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging dan ikan dalam waktu yang singkat. Sering digunakan pada daging yang telah dilayukan untuk mempertahankan warna merah agar tampak selalu segar, semisal daging kornet. Jumlah nitrit yang ditambahkan biasanya 0,1% atau 1 gram/kg bahan yang diawetkan. Untuk nitrat 0,2% atau 2 gram/kg bahan. Bila lebih dari jumlah tersebut bisa menyebabkan keracunan

4.  Asam sorbat.
     Beberapa produk beraroma jeruk, berbahan keju, salad, buah dan produk minuman kerap ditambahkan asam sorbat. Meskipun aman dalam konsentrasi tinggi, asam ini bisa membuat perlukaan di kulit. Batas maksimum penggunaan asam sorbat (mg/l) dalam makanan berturut-turut adalah sari buah 400; sari buah pekat 2100; squash 800; sirup 800; minuman bersoda 400 (www.yahoo.com).
              
Adapun bahan pengawet yang berbahaya dan tidak layak untuk digunakan dalam produk makanan yaitu formalin, boraks, pewarna merah rhodamin B, pewarna kuning metanil yellow dll.

Mutu kitosan  terdiri beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat deasetilasi. Kualitas standar kitosan  dalam dunia perdagangan dapat dilihat pada tabel. (www.uchitotech.com).

Tabel G.3. 1. Kualitas standar kitosan 
Sifat
Nilai Komersial
Ukuran partikel
Butiran bubuk
Kadar air ( % bk )
< 10 %
Kadar abu (  % bk )
< 2 %

Derajat deasetilasi
> 70%
Viskositas ( milipoise)

  1. rendah
  2. medium
  3. tinggi
  4. ekstra tinggi

< 200
200 – 799
800 – 2000
> 2000

Pada uji aplikasi kitosan  yang telah dilakukan pada beberapa produk ikan asin seperti, jambal, teri dan cumi, dalam uji-riset yang dilakukan, kitosan  dilarutkan dalam asam asetat 1%, kemudian ikan asin yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan. Jumlah kitosan  yang dibutuhkan untuk pengawetan makanan konsentrasinya sekitar 1,5 persen. Artinya, dalam satu liter pelarut, dibutuhkan kitosan  sekitar 15 gram (www.yahoo.com/chitosan). Indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain :
1.        Keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap.
2.        Keunggulan dalam uji mutu penampakan dan rasa, dimana hasil riset, menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating chitosan lebih baik bila dibandingkan dengan ikan asin kontrol (tanpa formalin dan kitosan )
3.        Keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, dimana nilai TPC (bakteri) sampai pada minggu kedelapan perlakuan, pelapisan kitosan  masih sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ikan asin, yakni dibawah 1 x 105 (100 ribu koloni per gram).
4.        Kadar air, di mana perlakuan dengan pelapisan kitosan  sampai delapan minggu menunjukkan kemampuan kitosan  dalam mengikat air.


H.  METODE PENELITIAN
H.1.       Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian sains tentang inovasi baru dalam proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah kulit udang dengan variasi waktu perebusan dalam air, variasi waktu, suhu, konsentrasi NaOH,dan volume pelarut NaOH.
H.2.       Variabel Penelitian
- Waktu yang digunakan untuk merebus kulit udang dalam air
- Waktu yang digunakan pada saat deasetilasi                
  -  Suhu yang digunakan pada saat deasetilasi
  -  Konsentrasi NaOH yang digunakan pada saat deasetilasi
  -  Volume pelarut NaOH yang digunakan pada saat deasetilasi
H.3.       Teknik Pengumpulan Data
H.3.1.        Eksperimen yaitu memberikan perlakuan terhadap obyek yang diteliti. Dimana, penelitian ini disusun dalam rancangan dengan satu faktor dan dua kali ulangan.
H.3.2.        Studi pustaka, yaitu penggunaan literatur ( buku, internet, narasumber, dll )
H.4.   Metode pendekatan program
H.4.1.        Tahap Persiapan bahan
       Adapun bahan  serta alat yang perlu dipersiapkan untuk proses pengolahan :
a)   Bahan penelitian
1.    Limbah udang, dalam penelitian ini digunakan limbah udang yang berupa kulit udang, setelah dikeringkan dan dihaluskan, kemudian dianalisis kadar air dan kadar abu.
2.    Air, digunakan sebagai cairan pencuci.
3.    Larutan NaOH 5%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deproteinasi bubuk kulit udang.
4.    Larutan NaOH x%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deasetilasi kitin.
5.    Larutan HCl 1N, digunakan sebagai pelarut dalam proses demineralisasi.
6.    Larutan asam asetat 1 %, digunakan sebagai pelarut dalam analisa dan pengujian kitosan  pada bahan makanan.


b)     Alat penelitian
         Rangkaian alat penelitian yang digunakan dapat dilihat pada gambar dibawah itu digunakan alat yang lain untuk persiapan bahan baku dan pada saat proses yaitu penggilingan, ember, ayakan, dan erlemeyer.
Keterangan :
1.              Kompor listrik            5. Pengaduk
2.              Penangas minyak        6. Termometer
3.              Labu leher tiga            7. Motor pengaduk
4.              Pendingin balik           8. Statif dan klem

 





            Gambar   H.4.1. Rangkaian Alat Percobaan
H.4.2.        Tahap pengolahan
        Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu persiapan bahan baku yaitu limbah kulit udang, proses pembuatan kitosan, dan proses analisa. Penyiapan bahan, bahan baku kulit udang dicuci sampai bersih, kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Selanjutnya kulit udang dihaluskan/ digiling dan diayak dengan ukuran mesh tertentu, hasil yang berupa tepung kulit udang kemudian dianalisa untuk mengetahui kandungan air dan abu.
        Proses penelitian, yaitu proses deproteinasi, demineralisasi dan deasetilasi dalam labu leher tiga dengan perbandingan bahan dengan pelarut, konsentrasi NaOH, waktu dan suhu reaksi yang tertentu. Campuran kemudian disaring yang bertujuan untuk memisahkan residu dari filtratnya. Residu tersebut diambil sebagai hasil setelah itu di oven pada suhu tertentu sampai kering maka berat hasil akan didapat. Sebelum dilakukan ketiga proses tersebut, dilakukan proses perebusan kulit udang dalam air dengan waktu proses tertentu.
        Proses deproteinasi dilakukan dengan cara tepung limbah udang dengan berat tertentu, dimasukkan dalam labu leher tiga dengan penambahan NaOH 5% dengan volume tertentu. Perbandingan antara berat limbah udang dengan volume NaOH 5% adalah 1:15 (weight/volume). Ekstraksi dilakukan selama 2 jam pada suhu 100ºC untuk menghilangkan kandungan proteinnya. Hasil deproteinasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven dengan suhu 600C.
Proses demineralisasi, residu hasil deproteinasi yang telah dicuci sampai pH netral dan dikeringkan dimasukkan ke dalam labu leher tiga dengan penambahan  HCl 1N dengan volume tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 1 jam pada suhu 80ºC untuk menghilangkan kandungan mineralnya. Hasil demineralisasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven. Residu hasil demineralisasi yang telah dikeringkan disebut kitin.
        Proses deasetilasi yaitu mengubah kitin menjadi kitosan , kitin dimasukkan ke dalam labu leher tiga dengan penambahan NaOH 40% dengan volume tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 2 jam pada suhu 110ºC. Hasil deasetilasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven. Residu dari hasil deasetilasi inilah yang disebut kitosan. Kemudian hasil dianalisis derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositasnya untuk mengetahui mutu kitosan .

H.4.3.        Tahap Pengujian
Analisis yang dilakukan meliputi analisis bahan baku dan  hasil. Analisis bahan baku meliputi analisis kadar air dan kadar abu, sedangkan analisis hasil meliputi analisis derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan vikositas.

1. Penentuan Derajat Deasetilasi
Derajat deasetilasi dihitung menggunakan data spektrum hasil analisis menggunakan FTIR pada sampel kitosan.
2. Analisis kadar air ( Sudarmadji, 1984 )
Analisis kadar air dilakukan dengan cara botol timbang yang telah dibersihkan, dipanaskan dalam oven pada suhu 110 ºC selama 30menit. Kemudian didinginkan dalam eksikator sebentar dan ditimbang. Masukan bahan 1-2 gram yang telah dihaluskan kedalam botol timbangan tersebut. Panaskan dalam oven pada suhu 110 ºC selama 30 menit. Selanjutnya didinginkan dalam eksikator sebentar dan ditimbang. ( dengan selisih penimbangan 0,0001 gram ).

Kadar air     =  (Berat Bahan awal-berat bahan akhir)/berat bahan wal x 100%

3. Analisis kadar abu ( Sudarmadji, 1984 )
Kurs porselin yang telah dibersihkan, dipanaskan dalam oven pada suhu 110 ºC selama 30 menit kemudian ditunggu hingga dingin dan ditimbang. Masukkan bahan dengan berat tertentu dalam kurs porselin tersebut, kemudian dibakar dalam muffle furnace pada suhu  750 ºC selama 30 menit. Selanjutnya dimasukkan dalam eksikator  dan ditimbang.
Kadar abu   =  berat abu/berat bahan x 100%
4. Analisis Viskositas
Masukan 1gram kitosan   dalam 100 mL asam asetat 1% dan aduk maka larutan akan membentuk jell. Kemudian diukur menggunakan alat viskositas, catat waktu putar (1 kali putaran) mengunakan stopwatch.
dengan :
tx = waktu putar (1x putaran) sampel chitosan, detik.
tm   = waktu putar (1x putaran) minyak jarak, detik.
μm  = viskositas minyak jarak, milipoise.

 
Viskositas   =   



5. Kelarutan
Kitosan 5% dilarutkan dalam asam asetat 1%, lalu difiltrasi. Persentase kelarutan kitosan ditunjukkan dengan kitosan yang tersisa dibandingkan dengan kitosan awal.
6. Uji Fungsi Sebagai Pengawet
Uji fungsi sebagai pengawet dilakukan dengan cara melarutkan 1,5 gram kitosan  ke dalam 100 mL asam asetat 1%, kemudian bahan makanan yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan.
H.5.   Penyimpulan Hasil Penelitian
Produk kitin dan kitosan , selanjutnya dilakukan dilakukan studi komparatif  khususnya  nilai kadar air, kadar abu, nilai kelarutan, nilai viskositas, dan uji fungsi sebagai pengawet sehingga dapat diketahui kinerja yang paling optimal untuk hasil kitin dan kitosan  yang berasal dari kulit udang.

4 komentar:

Posting Komentar